Kamis, 07 November 2013

PRESPEKTIF (Oleh : Atsnaro)

Diposting oleh nana di 11/07/2013 05:04:00 AM


Siapa yang tahu hari itu, hari terakhir aku melihat dia. Kami abaikan hiruk pikuk pasukan kebaya dan jas hitam. Di bangku sekolah yang dalam hitungan menit akan kami tiggalkan selamanya, kami terdiam beberapa waktu. Tak kuhiraukan ini akan jadi waktu yang akan dikenang bahkan setelah tua nanti. Pas benar kalau acara semacam ini mereka sebut dengan perpisahan. Dan baru saja aku berpikir bahwa harusnya waktu itu aku membuat kenangan. Paling tidak hanya sekedar kenangan yang akan muncul ketika kulihati satu persatu foto dalam albumku nanti atau buku tahunan.
Dia tidak seperti biasa. Ini harus aku yang memulainya dan ini sulit. Dengan polosnya, kumaksud untuk menunda apa yang aku mau beritahu padanya. Kupikirkan benar apa yang bisa aku katakan untuk mencairkan suasana sedingin kutub ini. Beberapa kalimat terjebak di otakku, “Sudah makan?” – “Janga lupain aku, ya!” yang keluar masih diam karena kami yang sama-sama bodoh memulai percakapan ini.
Puluhan menit kami lalui dengan diam, sempat mata kami bertemu, mulutku menahan tanya, tapi batal. Begitu juga dengannya.
“Kita bakal ketemu lagi kan?” akhirnya satu kalimat keluar setelah hiruk-pikuk di luar hanya terdengar samar. Menggebu hatiku untuk dia menjawabnya iya. Kupikir semua akan jadi alasan untuk kami bertemu lagi di lain hari.
“Mungkin iya,” Ah, kenapa ada kata mungkin di sana. Baru saja aku menyadari keraguan 89% terkandung dari kata-katanya. Dan itu lebih terdengar sebagai kata “Tidak, mungkin kita tidak akan bertemu lagi.” Kemudian dia berlalu. Ingat benar otakku dengan raut mukanya waktu itu. Datar, sedatar permukaan air. Ada yang salah denganku?
Cara dia memperhatikanku, menanyai apa yang sedang kulakukan, menyanyikan lagu buatku, caranya me-nina bobo-kan aku lewat suara telephon, aku tak pernah mau mengerti. Membaca apa yang dia lakukan buatku terlalu menakutkan kalau aku hubungkan dengan buku dan film yang aku konsumsi.
Beberapa minggu setelah hari itu, kami masih baik. Aku yang mencoba mempelajarinya masih bisa dia menerimaku. Entah orang macam apa aku yang geli setiap mendengar panggilan sayang dari orang yang seharusnya. Harusnya aku tahu dia mulai muak dan habis pikir ada orang sepertiku (orang biasa yang terlalu senang karena mendapat mimpi indah bersama dirinya untuk beberapa bulan terakhir). Dan akhirnya kami benar-benar harus melupakan bahwa kami saling kenal. Mungkin mudah saja baginya. Dan dia tak pernah tahu, bagaimana itu semua bagiku.
Menjadi orang dengan dua sisi yang berbeda sangat melelahkan. Dengan mudah aku menjadi salah satu sisiku yang selalu menganggap diriku benar. Atau menjadi sisiku yang lain, yang tak mau mengerti tentang semua hal-hal yang harus terjadi. Bahkan aku sendiri tak pernah tahu apa sisiku yang sebenarnya. Mungkin sisiku yang lain itu, terlalu menguasaiku waktu aku bersama dia. Dan sekarang, sekarang setelah dia pergi, salah satu sisiku berkuasa.
Mulai kutelan mentah-mentah cerpen, novel, hingga film romantis. Hancur tenggorokanku menahan mual. Membayangkan dia dan aku yang menjadi pemeran utamanya. Tertawa ikut tertawa, kadang juga banjir dengan dan mata membengkak. Seperti sedang mengalami pembodohan terbesar dalam hidupku. Ketika sadar aku hanya penonton awam. Yang ada hanya takut. Ketakutan-ketakutan tak masuk akal yang mungkin rasanya lebih baik untuk menjadi gila dan mengubur diri sendiri.
Rasa aneh, yang bernama sesal itu. Kamu tahu, sesal yang rasanya seperti mayat hidup? Yang berpikir bahwa telah terjadi kesalahan besar di masa lalu, yang berpikir bahwa dengan kembali ke masa lalu akan bisa merubah keadaan? Rasa sesal yang itu yang melucuti tubuhku, melukai harga diriku. Dan dia tidak tahu.
Rasaku seperti mati. Benar-benar mati. Teringat kembali cerita yang kubaca, film yang kulihat. Aku takut. Bagaimana kalau cerita yang menyedihkan terjadi di dunia nyata? Bagaimana kalau aku ini, seperti tokoh dalam film itu? Dia mati dalam penyesalan yang besar. Dia mati dalam kebohongan yang besar. Mulai tak nyenyak tidurku. Takut kalau-kalau dia hadir di mimpiku. Sebagai orang yang kuinginkan, atau sebagai orang yang tak kuinginkan. Keduanya sangat menakutkan. Aku putuskan terjaga, ternyata bukan ide bagus untuk menghindari melihat sosoknya. Karena ketika terjadi perlawanan terhadap suatu perasaan, yang terjadi pada kenyataan adalah semacam cobaan yang lebih besar datang.
Kalau ada dua kutub antara membencinya dan sangat tidak membencinya, maka  kutub membencinya terlalu lemah. Semua tentang dia masih saja terdengar indah. Gambaran tentangnya dalam otakku pun tersimpan indah. Apa sebenarnya yang salah dengan cerita ini. Sepertinya ini sama dengan kisah-kisah patah hati lainnya. -Setelah hari ini, sekarang akan menjadi kemarin. Dan setelahnya sekarang akan menjadi masa lalu-*. Ingatanku yang buruk tak akan mampu menyimpan kesedihan yang menjijikkan ini. Suatu hari dimana aku tak bisa ingat lagi bahu lebar, gigi rapih dan jari yang lentik, mata coklat dan alis tebal ini, mungkin disaat itu aku mulai sadar aku kehilangan rasaku.
Tak ada niat untuk melupakan kebaikannya dengan jalan membenci dia. Kalau bisa, Tuhan, simpankan memoriku tentang dia tanpa aku mengingat imsomniaku ketika pertama kali dia menyatakan cinta. Aku masih ingin mengenang dia seperti aku mengenang masa-masa kecil. Ah, lagi-lagi tanpa merasa canggung, kumintai Tuhan. Dan memaksa-Nya untuk mengabulkan doaku.
Bisa jadi dia membuat cerita ini terdengar aku begitu bodoh, misalnya menambahkan kesalahan-kesalahan yang tak sengaja aku buat, menghilangkan kesalahan yang dia buat, memberi sedikit sentuhan yang lain, iya, mungkin saja. Misalnya...
“Ah, aku menyesal pernah mengenal orang ini. Aku hanya merasa kasihan dengan orang yang setia mendengarkanku, mendengar semua keluh kesahku. Lalu aku mulai berpikir untuk memberinya rasa lebih. Aku berpikir kalau aku sangat menyukai dia. Orang berkepribadian ganda yang sulit sekali kumengerti.
Kuyakinkan dengan berbagai cara bahwa waktu itu aku seperti benar-benar suka dengan dia. Dia, orang macam dia tak akan bisa kamu temui dimanapun. Aku mulai berpikir rasa itu tulus. Dan sepertinya itu kesalahan terbesarku. Kuteruskan sandiwara ini sampai aku benar-benar ingin muntah. Muak sekali dengan kebohongan yang kubuat sendiri. Hmmm... mungkin ini salah.
Karena aku yang terlalu baik, kubiarkan dia tahu dengan sendirinya, biar suatu saat nanti bukan aku yang menjadi orang jahat, yang telah menjahati dirinya, melainkan dirinya sendiri dengan pemikirannya yang kompleks tak dapat dimengerti siapapun. Tak merasa beruntungkah dia ada orang seperti aku mau berpura-pura membahagiakan orang seperti dia. Siapa dia berani-beraninya menguji ketulusanku?
Aku tak pernah lupa dengan ucapan-ucapanku. Kukatakan, “Aku sayaaaaaang kamu,” ingat sekali sengaja kutambahkan huruf “a” yang berlebih di antara kata “sayang”. Ah, kubayangkan mimik muka saat dia membacanya. Geli sekali. Menurutku, huruf “a” yang lebih banyak itu, harusnya membuatnya yakin dengan apa yang aku katakan. Itu benar, hanya saja aku memang sedang menghibur dia.
Kamu tau wajahnya, sangat tidak mungkin untuk siapapun untuk menyakitinya. Terlalu menyedihkan hidupnya yang nyaris tak pernah tersentuh oleh laki-laki (ini bagian yang seharusnya dia tidak pernah berpikir barang sedetikpun). Datanglah aku yang berperan sebagai pahlawan yang mungkin akan dia kenang sampai kematiannya yang entahlah, aku tak tertarik untuk mempedulikannya. Toh, dengan keadaanku yang bisa menjadi orang yang diinginkan dan diharapkan oleh siapapun, aku bisa mendapatkan orang yang bahkan terlalu tinggi jika dibandingkan dengan wanita macam dia.
Tapi harus kuakui bahwa aku sedikit bersalah dalam cerita ini, aku memang perlu minta maaf. Tapi aku tak mau (kujelaskan lagi bahwa tak mau berbeda dengan tak bisa, itu karena aku yang terlalu baik, tak mau menyakiti hati orang yang selalu menyedihkan) menjelaskan apa yang harus dia maafkan. Itulah aku yang terlalu baik kepada semua orang. Kepada semua wanita-wanita yang menyedihkan, dan dia hanya termasuk salah seorang dari mereka. Tak ada yang spesial. Sungguh tak ada yang spesial.
Suatu kesalahan yang besar memutuskan untuk memasukkan dia kedalam daftar orang yang aku kasihani. Karena aku tahu sampai sekarang dia masih saja berharap keajaiban datang. Tiba-tiba mukjizat Tuhan kembali turun kepadaku dan secara tak masuk akal aku akan kembali hadir dalam kehidupan yang menyedihkan itu. Haisshhh tak kubayangkan handphone-nya akan dipenuhi lagi namaku.
Kamu tahu, sengaja kuumumkan aku telah memiliki perempuan yang baru. Kuberitahukan ke seluruh dunia agar tak ada lagi wanita-wanita menyedihkan lainnya berharap mukjizat yang mustahil itu. Betapa sosial media ikut berdosa atas kesakitan yang dia rasakan.
Permainan ini sebenarnya sedikit menggangguku. Dan yang terlihat sekarang adalah seperti aku bukan berada pada diriku yang dulu. Yakinlah, aku tetap, hanya saja dalam packaging yang sedikit berbeda. Aku masih dalam sisiku yang itu. Dan sengaja aku buat seperti ini untuk menimbulkan anggapan-anggapan muncul dari otak-otak kalian. Juga otak yang ber-IQ rata-rata, otaknya, misal.
Gila, semakin sering dia mendengarkan lagu-lagu bodoh yang akan membuatnya semakin tak bisa melupakan aku. Dan jauh dalam penyesalan yang dia buat sendiri. Lihat saja, dalam mimpinya pun, aku tak akan pernah datang lagi sebagai orang yang dia inginkan. Biar dia tahu sampai hati-hatinya sekalian bahwa aku hanya melakukan kesalahan waktu itu. Dan segera menganggapnya tidak pernah terjadi.
Untungnya, aku tak pernah mendengar langsung dia mengucapkan ini. Tak sampai pikirku harus mengeluarkan ekspresi apa di depannya. Tak bolehkah aku membela diriku. Kamu tahu, siapapun punya sisi mereka. Aku punya keduanya. Bisa dibayangkan ini menjadi begitu sulit ketika aku tak ingin menjadi biasa saja, hah!!! Ah, sudahlah, lupakan!
Aku mulai berpikir setidaknya harus ada satu kali pertemuan lagi diantara kami sebelum kami sama-sama mati dan tak saling mengingat. Perlu kupastikan lagu apa yang akan muncul. Setidaknya dalam diam kami masing-masing jelas, selalu ada dia di otak dalam kepalaku atau ada secuil aku dalam ingatannya. Itu harus sekali.
Aku bahkan, dalam hati kecilku, membelanya ketika orang lain menyebutkan satu persatu kegilaannya yang terdengar menjijikkan. Aku mulai belajar membohongi hatiku sendiri untuk beberapa kali. Kucoba, tapi tak selalu bisa. Dan keadaan yang menyedihkan ini, maaf, membuatku membenci apapun yang pernah dia cintai. Aku mulai terdengat macam psikopat.
Pernah saat itu aku takut untuk terdidur. Selalu berhalusinasi dan semacam tak bisa bergerak untuk bangun. Ini membuatku mulai tertarik untuk terjaga. Tapi kali ini kedatangannya dan kekasihnya di dalam mimpiku benar-benar keterlaluan. Tak cukup hanya lewat social network yang selalu kubaca, bahkan mereka berdua merambah alam bawah sadarku. Ini terdengar jahat. Tapi kebohongan yang mulai basi itu masih saja tercium. Ah, hidungku ini. Lagi-lagi aku berhalusinasi bahwa mendengarkan kebohongan-kebohongannya (lagi) setiap hari akan menjadikanku bahagia sampai mati sekalipun.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

heh.. add site ku yg baru
http://pipa-biru.blogspot.com

Posting Komentar

 

GOLONGAN DARAH AB Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review