Siapa
yang tahu hari itu, hari
terakhir aku melihat dia. Kami abaikan hiruk pikuk pasukan kebaya dan jas
hitam. Di bangku sekolah yang dalam hitungan menit akan kami tiggalkan
selamanya, kami terdiam beberapa waktu. Tak kuhiraukan ini akan jadi waktu yang
akan dikenang bahkan setelah tua nanti. Pas benar kalau acara semacam
ini mereka sebut dengan perpisahan. Dan baru saja aku berpikir bahwa harusnya
waktu itu aku membuat kenangan. Paling tidak hanya sekedar kenangan yang akan
muncul ketika kulihati satu persatu foto dalam albumku nanti atau buku tahunan.
Dia
tidak seperti biasa. Ini harus aku yang memulainya dan ini sulit. Dengan
polosnya, kumaksud untuk menunda apa yang aku mau beritahu padanya. Kupikirkan
benar apa yang bisa aku katakan untuk mencairkan suasana sedingin kutub ini.
Beberapa kalimat terjebak di otakku, “Sudah makan?” – “Janga lupain aku, ya!”
yang keluar masih diam karena kami yang sama-sama bodoh memulai percakapan ini.
Puluhan
menit kami lalui dengan diam, sempat mata kami bertemu, mulutku menahan tanya,
tapi batal. Begitu juga dengannya.
“Kita
bakal ketemu lagi kan?” akhirnya satu kalimat keluar setelah hiruk-pikuk
di luar hanya terdengar samar. Menggebu hatiku untuk dia menjawabnya “iya”.
Kupikir semua akan jadi alasan untuk kami bertemu lagi di lain hari.
“Mungkin
iya,” Ah, kenapa ada kata mungkin di sana. Baru saja aku menyadari keraguan 89%
terkandung dari kata-katanya. Dan itu lebih terdengar sebagai kata “Tidak,
mungkin kita tidak akan bertemu lagi.” Kemudian dia berlalu. Ingat benar otakku dengan raut mukanya waktu itu. Datar, sedatar permukaan air. Ada yang salah
denganku?
Cara
dia memperhatikanku, menanyai apa yang sedang kulakukan, menyanyikan lagu
buatku, caranya me-nina bobo-kan aku lewat suara telephon, aku tak pernah mau
mengerti. Membaca apa yang dia lakukan buatku terlalu menakutkan kalau aku
hubungkan dengan buku dan film yang aku konsumsi.
Beberapa
minggu setelah hari itu, kami masih baik. Aku yang mencoba mempelajarinya
masih bisa dia menerimaku. Entah orang macam apa aku yang geli setiap mendengar
panggilan sayang dari orang yang seharusnya. Harusnya aku tahu dia mulai muak
dan habis pikir ada orang sepertiku (orang biasa
yang terlalu senang karena mendapat mimpi indah bersama dirinya untuk beberapa
bulan terakhir). Dan akhirnya kami benar-benar harus melupakan bahwa kami
saling kenal. Mungkin mudah saja baginya. Dan dia tak pernah tahu, bagaimana
itu semua bagiku.
Menjadi
orang dengan dua sisi yang berbeda sangat melelahkan. Dengan mudah aku menjadi salah
satu sisiku yang selalu menganggap diriku benar. Atau menjadi sisiku yang lain,
yang tak mau mengerti tentang semua hal-hal yang harus terjadi. Bahkan aku
sendiri tak pernah tahu apa sisiku yang sebenarnya. Mungkin sisiku yang lain
itu, terlalu menguasaiku waktu aku bersama dia. Dan sekarang, sekarang setelah
dia pergi, salah satu sisiku berkuasa.
Mulai
kutelan mentah-mentah cerpen, novel, hingga film romantis. Hancur tenggorokanku
menahan mual. Membayangkan dia dan aku
yang menjadi pemeran utamanya. Tertawa ikut tertawa, kadang juga banjir dengan
dan mata membengkak. Seperti sedang mengalami pembodohan terbesar dalam
hidupku. Ketika sadar aku hanya penonton awam. Yang ada hanya takut.
Ketakutan-ketakutan tak masuk akal yang mungkin rasanya lebih baik untuk menjadi gila dan mengubur diri sendiri.
Rasa
aneh, yang bernama sesal itu. Kamu tahu, sesal yang rasanya seperti mayat
hidup? Yang berpikir bahwa telah terjadi kesalahan besar di masa lalu, yang
berpikir bahwa dengan kembali ke masa lalu akan bisa merubah keadaan? Rasa sesal
yang itu yang melucuti tubuhku, melukai harga diriku. Dan dia tidak tahu.
Rasaku
seperti mati. Benar-benar mati. Teringat kembali cerita yang kubaca, film yang
kulihat. Aku takut. Bagaimana kalau cerita yang menyedihkan terjadi di dunia
nyata? Bagaimana kalau aku ini, seperti tokoh dalam film itu? Dia mati dalam
penyesalan yang besar. Dia mati dalam kebohongan yang besar. Mulai tak nyenyak
tidurku. Takut kalau-kalau dia hadir di mimpiku. Sebagai orang yang kuinginkan,
atau sebagai orang yang tak kuinginkan. Keduanya sangat menakutkan. Aku
putuskan terjaga, ternyata bukan ide bagus untuk menghindari melihat sosoknya. Karena
ketika terjadi perlawanan terhadap suatu perasaan, yang terjadi pada kenyataan
adalah semacam cobaan yang lebih besar datang.
Kalau
ada dua kutub antara membencinya dan sangat tidak membencinya, maka kutub membencinya terlalu lemah. Semua tentang dia masih saja terdengar
indah. Gambaran tentangnya dalam otakku pun tersimpan indah. Apa sebenarnya
yang salah dengan cerita ini. Sepertinya ini sama dengan kisah-kisah patah hati
lainnya. -Setelah hari ini, sekarang akan menjadi
kemarin. Dan setelahnya sekarang akan menjadi masa lalu-*. Ingatanku
yang buruk tak akan mampu menyimpan kesedihan yang menjijikkan ini. Suatu hari
dimana aku tak bisa ingat lagi bahu lebar, gigi rapih dan jari yang lentik,
mata coklat dan alis tebal ini, mungkin disaat itu aku mulai sadar aku
kehilangan rasaku.
Tak ada niat untuk melupakan kebaikannya dengan jalan
membenci dia. Kalau bisa, Tuhan, simpankan memoriku tentang dia tanpa aku
mengingat imsomniaku ketika pertama
kali dia
menyatakan cinta. Aku masih ingin mengenang dia seperti aku mengenang masa-masa kecil. Ah, lagi-lagi tanpa merasa canggung, kumintai Tuhan.
Dan memaksa-Nya untuk mengabulkan doaku.
Bisa
jadi dia membuat cerita ini terdengar aku begitu bodoh, misalnya menambahkan
kesalahan-kesalahan yang tak sengaja aku buat, menghilangkan kesalahan yang dia
buat, memberi sedikit sentuhan yang lain, iya, mungkin saja. Misalnya...
“Ah,
aku menyesal pernah mengenal orang ini. Aku hanya merasa kasihan dengan orang
yang setia mendengarkanku, mendengar semua keluh kesahku. Lalu aku mulai
berpikir untuk memberinya rasa lebih. Aku berpikir kalau aku sangat menyukai
dia. Orang berkepribadian ganda yang sulit sekali kumengerti.
Kuyakinkan
dengan berbagai cara bahwa waktu itu aku seperti benar-benar suka dengan dia. Dia,
orang macam dia tak akan bisa kamu temui dimanapun. Aku mulai berpikir rasa itu
tulus. Dan sepertinya itu kesalahan terbesarku. Kuteruskan sandiwara ini sampai
aku benar-benar ingin muntah. Muak sekali dengan kebohongan yang kubuat
sendiri. Hmmm... mungkin ini salah.
Karena
aku yang terlalu baik, kubiarkan dia tahu dengan sendirinya, biar suatu saat
nanti bukan aku yang menjadi orang jahat, yang telah menjahati dirinya,
melainkan dirinya sendiri dengan pemikirannya yang kompleks tak dapat
dimengerti siapapun. Tak merasa beruntungkah dia ada orang seperti aku mau
berpura-pura membahagiakan orang seperti dia. Siapa dia berani-beraninya
menguji ketulusanku?
Aku
tak pernah lupa dengan ucapan-ucapanku. Kukatakan, “Aku sayaaaaaang kamu,”
ingat sekali sengaja kutambahkan huruf “a” yang berlebih di antara kata
“sayang”. Ah, kubayangkan mimik muka saat dia membacanya. Geli sekali.
Menurutku, huruf “a” yang lebih banyak itu, harusnya membuatnya yakin dengan
apa yang aku katakan. Itu benar, hanya saja aku memang sedang menghibur dia.
Kamu
tau wajahnya, sangat tidak mungkin untuk siapapun untuk menyakitinya. Terlalu
menyedihkan hidupnya yang nyaris tak pernah tersentuh oleh laki-laki (ini
bagian yang seharusnya dia tidak pernah berpikir barang sedetikpun).
Datanglah aku yang berperan sebagai pahlawan yang mungkin akan dia kenang
sampai kematiannya yang entahlah, aku tak tertarik untuk mempedulikannya. Toh,
dengan keadaanku yang bisa menjadi orang yang diinginkan dan diharapkan oleh
siapapun, aku bisa mendapatkan orang yang bahkan terlalu tinggi jika dibandingkan
dengan wanita macam dia.
Tapi
harus kuakui bahwa aku sedikit bersalah dalam cerita ini, aku memang perlu
minta maaf. Tapi aku tak mau (kujelaskan lagi bahwa tak mau berbeda dengan tak
bisa, itu karena aku yang terlalu baik, tak mau menyakiti hati orang yang
selalu menyedihkan) menjelaskan apa yang harus dia maafkan. Itulah aku yang
terlalu baik kepada semua orang. Kepada semua wanita-wanita yang menyedihkan,
dan dia hanya termasuk salah seorang dari mereka. Tak ada yang spesial. Sungguh
tak ada yang spesial.
Suatu
kesalahan yang besar memutuskan untuk memasukkan dia kedalam daftar orang yang
aku kasihani. Karena aku tahu sampai sekarang dia masih saja berharap keajaiban
datang. Tiba-tiba mukjizat Tuhan kembali turun kepadaku dan secara tak masuk
akal aku akan kembali hadir dalam kehidupan yang menyedihkan itu. Haisshhh tak
kubayangkan handphone-nya akan dipenuhi lagi namaku.
Kamu
tahu, sengaja kuumumkan aku telah memiliki perempuan yang baru. Kuberitahukan
ke seluruh dunia agar tak ada lagi wanita-wanita menyedihkan lainnya berharap mukjizat yang mustahil itu. Betapa sosial media ikut
berdosa atas kesakitan yang dia rasakan.
Permainan
ini sebenarnya sedikit menggangguku. Dan yang terlihat sekarang adalah seperti
aku bukan berada pada diriku yang dulu. Yakinlah, aku tetap, hanya saja dalam packaging yang sedikit berbeda. Aku
masih dalam sisiku yang itu. Dan sengaja aku buat seperti ini untuk menimbulkan
anggapan-anggapan muncul dari otak-otak kalian. Juga otak yang ber-IQ rata-rata, otaknya, misal.
Gila,
semakin sering dia mendengarkan lagu-lagu bodoh yang akan membuatnya semakin
tak bisa melupakan aku. Dan jauh dalam penyesalan yang dia buat sendiri. Lihat saja, dalam mimpinya pun, aku tak
akan pernah datang lagi sebagai orang yang dia inginkan. Biar dia tahu sampai
hati-hatinya sekalian bahwa aku hanya melakukan kesalahan waktu itu. Dan segera
menganggapnya tidak pernah terjadi.”
Untungnya,
aku tak pernah mendengar langsung dia mengucapkan ini. Tak sampai pikirku harus
mengeluarkan ekspresi apa di depannya. Tak bolehkah aku membela diriku. Kamu tahu,
siapapun punya sisi mereka. Aku punya keduanya. Bisa dibayangkan ini menjadi
begitu sulit ketika aku tak ingin menjadi biasa saja, hah!!! Ah, sudahlah, lupakan!
Aku mulai berpikir setidaknya harus ada satu kali
pertemuan lagi diantara kami sebelum kami sama-sama mati dan tak saling
mengingat. Perlu kupastikan lagu apa yang akan muncul. Setidaknya dalam diam kami
masing-masing jelas, selalu ada dia di otak dalam kepalaku atau ada secuil aku
dalam ingatannya. Itu harus sekali.
Aku bahkan, dalam hati kecilku, membelanya ketika
orang lain menyebutkan satu persatu kegilaannya yang terdengar menjijikkan. Aku
mulai belajar membohongi hatiku sendiri untuk beberapa kali. Kucoba, tapi tak
selalu bisa. Dan keadaan yang menyedihkan ini, maaf, membuatku membenci apapun
yang pernah dia cintai. Aku mulai terdengat macam psikopat.
Pernah saat itu aku takut untuk terdidur. Selalu
berhalusinasi dan semacam tak bisa bergerak untuk bangun. Ini membuatku mulai tertarik untuk terjaga. Tapi kali ini kedatangannya dan
kekasihnya di dalam mimpiku benar-benar keterlaluan. Tak cukup hanya lewat social
network yang selalu kubaca, bahkan mereka berdua merambah alam bawah
sadarku. Ini terdengar jahat. Tapi kebohongan yang mulai basi itu masih saja
tercium. Ah, hidungku
ini. Lagi-lagi aku berhalusinasi bahwa mendengarkan kebohongan-kebohongannya (lagi) setiap
hari akan menjadikanku bahagia sampai mati sekalipun.
1 komentar:
heh.. add site ku yg baru
http://pipa-biru.blogspot.com
Posting Komentar